Kamis, 21 Mei 2015

20 Mei 2015

Seharusnya kemarin merupakan hari dimana kelahiranmu diperingati. Kerasnya hidup sudah kau lalui dengan berpayah-payah, itu bisa terlihat dari uban yang semakin banyak dibanding rambutmu yang masih hitam. Keriput halus juga tak mau kalah berlomba untuk menghiasi wajahmu. Sorot matamu juga tak setajam dulu, bahkan matamu harus menyerah pada alat buatan manusia. Tapi satu hal yang tidak berubah, caramu dalam memandang hidup. Bagaimana dirimu menilai kehidupan dan segala tetek bengeknya. Keras watakmu membungkus kelembutan lain yang teramat sangat. Caramu melindungi orang terdekat, yang sering kali disalah artikan. Tapi, seperti kata sastrawan edan Sujiwo Tejo apa yang tak disalah artikan di negeri ini, kau tetap tak peduli. Kau, yang masih saja tak mau menyerah pada waktu. Kau yang selalu tegak berdiri gagah sebagai tumpuan banyak orang yang mungkin belum paham bagaimana kerasnya kehidupan. Ini tentang kau yang selalu saja menempuh cara yang tak bisa dinalar kebanyakan orang awam. Kau gila, mungkin. Atau kita semua yang gila?. Yang selalu saja gagal mengintepretasi maksud dan jalan pikiranmu.

Tapi, apa yang kemudian kau lakukan. Kau tunjukkan pada semua, pada dunia yang kau injak bahwa ini jalan hidup yang akhirnya membawamu seperti sekarang. Tepikan bagaimana kesulitan dalam ekonomi yang terus saja masih merongrongmu dan orang sekitarmu. Singkirkan bagaimana orang terdekatmu, orang yang menjadi tumpuanmu begitu sulit diatur, keras kepala. Dunia telah menempamu, menjadikanmu tangguh. Ah bukan, jikalau ada kata yang pantas menggantikan kata ‘tangguh’ seyogyanya itu pantas tersemat padamu. Tepikan sekejap bahwa kau begitu ‘gila’ dalam bekerja hanya karena orang-orang yang kau anggap ‘wajib’ engkau perjuangkan. Karena kau sudah berjanji sebelumnya. Janji yang tak layak untuk dikangkangi dan diganti dengan apapun.

Rabu, 13 Mei 2015

Kopi ?


Minggu petang, ketika intensitas hujan sedang tinggi-tingginya. Dua insan sedang terburu-buru masuk ke kedai kopi yang nampak masih lengang. Mereka duduk di sebuah meja di bagian tengah kedai. Si pria memberi kode pada pelayan untuk memesan menu. Pelayan memberikan daftar menu pada dua sejoli  yang kedinginan dan basah kuyup tersebut. Si Wanita segera menyambar daftar menu sekaligus secarik kertas kecil tempat mereka menulis pesanan. “Hot Cappucino”, segera dia menulis pesanannya. ”Dirimu pesen apa, nda?”, “seperti biasa? Kopi hitam? Pahit kan?”, memberondong lelakinya yang masih mengeringkan rambutnya akibat kehujanan tadi. Si-Pria menjawab pendek, “Oke..”

Lima menit berselang, dua minuman tersaji manis di hadapan dua sejoli ini. Dua buah cangkir bening dengan isi yang berbeda. Kopi hitam dan cappucino panas menguarkan aroma berbeda menyatu bersama aroma tanah basah yang diguyur hujan. “Kenapa tiap ngopi mesti pesen kopi hitam? Pait lagi?”, “Sekali-sekali gantilah nda..” berondong si-wanita sambil memajukan bibirnya tanda sedikit keberatan dengan rutinitas belahan jiwanya. “Kopi hitam itu kopi yang paling tinggi kadar kafeinnya” ,jawab si-pria sambil sedetik kemudian menyesap kopi hitam pesanannya. “nah, maka dari itu, kan kafein ndak baik buat kesehatan”, sergah si wanita. “Ndak baik buat tubuhmu, liat tubuh kurus gitu”, belum selesai si-wanita bicara, si-pria memotong “tapi kamu mau kan sama yang kurus begini?”, kemudian tawa mereka pecah ditelan hujan yang semakin deras. “Tapi, dirimu ndak tahu kan sebenarnya kafein di kopi itu banyak manfaatnya loh buat tubuh”. “Alah, itu kan cuma alibimu aja sebagai penggila kopi, pembenaranmu”. “Ini serius, hmmm… sebentar aku ingat-ingat dulu. Kafein itu punya efek memperbaiki suasana hati, bisa meningkatkan daya ingat, trus bisa meredakan migrain, membuat lebih kita awas, bahkan bisa mengurangi stress dan buat kita lebih santai loh”, jawab si pria dengan bersemangat. Si-Wanita hanya cekikikan sambil mulai meminum hot cappucino pesanannya. Dalam hatinya ada sedikit geli dan rasa heran, dapat darimana pengetahuan macam begini. Yang dia tahu, setiap hari belahan hatinya ini tak pernah lepas dari kopi hitam.

Selasa, 12 Mei 2015

Ketika Kopi Tak Lagi Panjang Berkisah

Malam ini lidah mulai meronta minta berjumpa dengan kopi. Eh, sialnya kepala juga mulai pusing karena minuman hitam ini juga sudah lama tak saya jamah, mungkin. Kemudian saya putuskan segera meluncur ke salah satu warung di daerah kampus Universitas Jember. Setiba disana saya pesan minuman favorit saya, segelas Kopi Hitam. Beberapa menit kemudian pesanan saya datang. Sambil duduk menunggu minuman saya mulai turun suhunya, saya memperhatikan sesosok lelaki duduk sendirian di seberang tempat saya berada kini. Matanya masih menerawang dengan tatapan kosong, itu yang saya baca dari raut wajahnya kini. Secangkir kopi yang masih kemebul teronggok di hadapannya. Sama sekali belum ia sentuh, apalagi ia sesap. Ia mulai melepas jaket hitam yang sedari tadi membungkus tubuhnya yang kurus kering. Sedetik kemudian ia mulai mengeluarkan sesuatu dari dalam ransel yang dibawanya. Sebuah kotak pensil berwarna hitam dengan buku gambar yang sudah tampak lusuh mengikuti sesudahnya.

Dia hanya sendiri. Duduk selonjoran dengan santai. Sedetik kemudian dia mulai keluarkan sebatang rokok, setahuku itu rokok pertama yang ia ambil dari kotaknya malam ini, sebab beberapa detik lalu saya juga perhatikan dia sedang membuka pembungkus plastik dari kotak rokok yang ia bawa. Ia gapit gulungan tembakau tadi diantara bibirnya, kemudian mulai menyalakannya. Sedetik kemudian asap putih hasil pembakaran batang tembakau tadi melayang, menyatu bersama udara disekitarnya. Bersamaan dengan itu, ia mulai mengadu pensil dengan lembaran buku yang dia keluarkan tadi. Sejenak saya berpikir, ah aneh sekali orang ini ngopi kok sendirian. Lalu, saya tinggalkan dia untuk ngobrol bersama kawan-kawan saya yang baru saja tiba menyusul.

Senin, 11 Mei 2015

Ngopi Tak Melulu Kopi.

“Ayok ngopi, rek!”

Kopi. Yah, kopi - minuman hitam pekat yang manis-manis pahit itu. Apa yang istimewa dari secangkir kopi? Mungkin, bagi yang tidak suka minuman ini tak ada yang istimewa. Sebenarnya, memang tidak terlalu istimewa minuman hitam pekat ini. Yang jadi istimewa bukan sekedar di minuman kopi itu sendiri, tapi lebih ke ngopi-nya. Ngopi? Ya, Ngopi lebih mengarah pada sebuah ‘aktivitas’ yang mengarah pada proses dialektika ditemani secangkir kopi. Lalu, kalau ada yang ndak suka ngopi berarti ndak bisa ikutan ngopi dong?. Nah, woles dulu, disitulah ‘cair’-nya ngopi, para pehobi ngopi tak pernah benar-benar membatasi sandingan apa yang harus dihadirkan dalam dimensi ngopi tadi. Mau ngopi sambil minum kopi kek, mau sambil nge-jus kek, atau bahkan tak minum apapun serasa baik-baik saja.

Coba bayangkan saja, agenda ngopi sudah jadi semacam kewajiban hampir saya lakukan di setiap malam. Mungkin, menurut pandangan sebagian orang kegiatan ini (baca:ngopi) merupakan sebuah kesia-siaan. Tapi, dari kopi banyak cerita. Setidaknya itu yang sering saya rasakan. Banyak ilmu-ilmu tentang bagaimana kehidupan ini harus dijalani seringkali saya temukan dalam forum-forum macam begini. Forum dengan duduk bersila diatas trotoar dengan beralaskan sandal, bersandingkan secangkir kopi bersama seorang kawan membicarakan tentang hidup dan kehidupanpun jadi. Obrolan bisa mengalir kearah yang tak pernah disiapkan dan direncanakan sebelumnya. Ngopi  ya ngopi sajalah. Tak perlu mempertanyakan ngapain nanti disana (forum ngopi)? Ngobrol apa disana? Setidaknya itu yang sempat saya tangkap dari kawan-kawan muda saya belakangan.

Jumat, 08 Mei 2015

Secangkir Nostalgi, Setangkup Harap


            “ Oh, aku gak mau jadi pengecut......”

Alkisah, tersebutlah di sebuah wilayah yang tak ada yang berani mengungkap apa nama dan dimana keberadaan daerah tersebut. Hari itu senja mulai berarak merambat, menggantikan siang yang mulai menua. Dua sosok manusia terjebak di satu ruang kubus, tak sepatah katapun, apalagi makna. Hanya saling berdampingan dan menghadap dunia maya masing-masing. Salah seorang dari mereka sudah asyik sedari tadi bercakap via dunia maya dengan seseorang yang belum seutuhnya dia kenal.

Kawan yang sedari tadi sama-sama tenggelam di dunia maya-pun mencoba mencuri tahu. Aha, dia mulai mencoba masuk ke obrolan dua insan tak sungguh-sungguh  saling kenal tadi. Rupanya sosok kedua ini lebih massif dalam hal melakukan pendekatan dengan sosok asing di dunia maya tadi. Setelahnya, segera saja dia mengajak sosok tak terejawantahkan tadi untuk kopi darat. Tak lupa, mengajak serta kawannya yang lebih dulu sudah berinteraksi secara maya tadi.