Seharusnya kemarin merupakan hari
dimana kelahiranmu diperingati. Kerasnya hidup sudah kau lalui dengan
berpayah-payah, itu bisa terlihat dari uban yang semakin banyak dibanding
rambutmu yang masih hitam. Keriput halus juga tak mau kalah berlomba untuk menghiasi
wajahmu. Sorot matamu juga tak setajam dulu, bahkan matamu harus menyerah pada
alat buatan manusia. Tapi satu hal yang tidak berubah, caramu dalam memandang
hidup. Bagaimana dirimu menilai kehidupan dan segala tetek bengeknya. Keras
watakmu membungkus kelembutan lain yang teramat sangat. Caramu melindungi orang
terdekat, yang sering kali disalah artikan. Tapi, seperti kata sastrawan edan
Sujiwo Tejo apa yang tak disalah artikan
di negeri ini, kau tetap tak peduli. Kau,
yang masih saja tak mau menyerah pada waktu. Kau yang selalu tegak berdiri
gagah sebagai tumpuan banyak orang yang mungkin belum paham bagaimana kerasnya
kehidupan. Ini tentang kau yang selalu saja menempuh cara yang tak bisa dinalar
kebanyakan orang awam. Kau gila, mungkin. Atau kita semua yang gila?. Yang
selalu saja gagal mengintepretasi maksud dan jalan pikiranmu.
Tapi, apa yang
kemudian kau lakukan. Kau tunjukkan pada semua, pada dunia yang kau injak bahwa
ini jalan hidup yang akhirnya membawamu seperti sekarang. Tepikan bagaimana kesulitan
dalam ekonomi yang terus saja masih merongrongmu dan orang sekitarmu.
Singkirkan bagaimana orang terdekatmu, orang yang menjadi tumpuanmu begitu
sulit diatur, keras kepala. Dunia telah menempamu, menjadikanmu tangguh. Ah
bukan, jikalau ada kata yang pantas menggantikan kata ‘tangguh’ seyogyanya itu
pantas tersemat padamu. Tepikan sekejap bahwa kau begitu ‘gila’ dalam bekerja
hanya karena orang-orang yang kau anggap ‘wajib’ engkau perjuangkan. Karena kau
sudah berjanji sebelumnya. Janji yang tak layak untuk dikangkangi dan diganti
dengan apapun.