Jumat, 10 November 2017

Persma dan Jalan Lain*)

Merujuk pada istilah-nya, Pers Mahasiswa (Persma) memiliki dua makna yang sama-sama potensial, yakni pers dan mahasiswa. Sebagai insan pers, Persma tak ubahnya seperti pers pada umumnya, ia mengemban tugas mulia sebagai penyambung lidah kaum tertindas. Persma hakikatnya memiliki esensi yang sama dengan gerakan mahasiswa kebanyakan, yakni mengawal demokrasi. Di sisi lain juga turut menjaga serta mengontrol jalannya sistem kekuasaan agar tercipta pemerintahan yang adil. Namun, yang menjadi pembeda bagi gerakan mahasiswa yang lain berangkat dari media penyampai berupa narasi sebagai sarana pergerakan Persma. Tentu dengan menyajikan berita bermutu, kritis, serta didukung independensi.

                Di era 90-an para aktivis Persma menggunakan lembaga ini sebagai kendaraan bersama untuk melawan rezim otoriter Orde Baru (Orba). Sejak saat itu Persma memasuki babak baru. Ia menjadi salah satu media penyampai polemik kerakyatan yang gahar. Isu yang dibawanya berisi bahasa khas kelas menengah yang meledak-ledak, tapi tetap menjunjung kaidah serta rambu kejurnalistikan. Sebagai kulminasinya, Persma juga berperan menjadi elemen yang turut andil menggulingkan rezim korup Soeharto di tahun ’98.



            Sejalan dengan tumbangnya rezim otoriter Orba, keran demokrasi termasuk kebebasan berpendapat juga mulai terbuka lebar. Termasuk dalam hal memberitakan. Tak ada lagi sensor-sensor dan ancaman pembreidelan dari dinas-dinas pemerintahan atas karya jurnalistik dan media terbitan Persma. Bersama dengan itu, aliran informasi mengalir deras tanpa hambatan. Indudtri pers pun tumbuh pesat bak jamur di musim hujan. Hal ini juga yang justru membuat Persma yang pada masa Orba sebagai media alternatif, malah menemukan kegelisahan.

                Lalu, apa yang tersisa buat Persma kemudian? Bagaimana Persma kemudian menunaikan kewajiban moralnya sebagai wadah sekaligus gerakan mahasiswa yang berbasis narasi jurnalistik?

                Akhirnya posisi dan orientasi Persma sebagai media alternative perlu dievaluasi. Di masa lalu Persma dikatakan alternatif karena mereka dinilai vokal dalam mengangkat isu serta pemberitaan sensitif yang tak berani diangkat pers umum. Jangankan melakukan kritik pada penguasa atau mau membuat pemberitaan yang bergenre investigatif, menjaga kontinuitas terbitan lembaganya sendiri saja Persma masih kelimpungan. Bahkan Persma terjebak mengabarkan yang bersifat informatif belaka dengan minusnya nilai berita.

                Sebenarnya sangat disayangkan, karya-karya Persma yang dulu menjadi bahan bakar untuk memicu gerakan-gerakan mahasiswa, kini cenderung berisi tulisan tanpa nilai berita yang informatif. Alih-alih menancapkan eksistensi, isi berita yang diangkat Persma justru menunjukkan antiklimaks. Terbitan Persma cenderung menjauh dari upaya peningkatan intelektualitas dan idealisme mahasiswa.

           Bila di masa rezim otoriter Soeharto, jelas Persma bergerak lebih kearah mengkritisi kebijakan-kebijakan lewat media-media terbitannya. Lalu, kini harusnya perlu ditekankan kembali bahwa Persma menerbitkan media bukan karena tuntutan deadline. Namun betapa kerennya Persma di era silam, menyuplai isu serta gagasan dalam pergerakan mahasiswa dalam baying-bayang rezim Soeharto.

                Sudah saatnya Persma kembali pada realitas. Kalaulah Persma suka ngopi-ngopi, ngobrol filsafat sampai isu-isu hangat yang sedang berkembang di lingkungannya, menjadi penjaga kampus, berwacana tentang kaum-kaum yang dirampas haknya dan termarjinalkan, bikin media yang isinya tulisan, foto, maupun keduanya, itulah Persma. Dengan tidak meninggalkan ciri khasnya yang selalu berdiri menjadi pemantau. Serta tak takut untuk menjadi oposan pihak penguasa, baik kampus maupun pemerintahan luar kampus.

             Tapi ingat, Persma tetap memilih ‘jalannya’ sendiri. Bergerak melalui wacana, menggalakkan kajian-kajian keilmuan untuk mendukung pergerakan menuju perbaikan bangsa dan bersuara lewat goresan pena. Sekali lagi, itulah Persma! ‘Dia’ adalah apa yang dilakukannya secara penuh kesadaran dengan atau tanpa dukungan pihak-pihak yang se-ide.[]


*) Tulisan ini pertama kali dimuat di Buletin Merah Putih Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Jember Edisi #1 bulan Juni 2015.

0 komentar:

Posting Komentar