Merujuk pada
istilah-nya, Pers Mahasiswa (Persma) memiliki dua makna yang sama-sama
potensial, yakni pers dan mahasiswa. Sebagai insan pers, Persma tak ubahnya
seperti pers pada umumnya, ia mengemban tugas mulia sebagai penyambung lidah
kaum tertindas. Persma hakikatnya memiliki esensi yang sama dengan gerakan
mahasiswa kebanyakan, yakni mengawal demokrasi. Di sisi lain juga turut menjaga
serta mengontrol jalannya sistem kekuasaan agar tercipta pemerintahan yang
adil. Namun, yang menjadi pembeda bagi gerakan mahasiswa yang lain berangkat
dari media penyampai berupa narasi sebagai sarana pergerakan Persma. Tentu
dengan menyajikan berita bermutu, kritis, serta didukung independensi.
Di era 90-an para aktivis Persma
menggunakan lembaga ini sebagai kendaraan bersama untuk melawan rezim otoriter
Orde Baru (Orba). Sejak saat itu Persma memasuki babak baru. Ia menjadi salah
satu media penyampai polemik kerakyatan yang gahar. Isu yang dibawanya berisi
bahasa khas kelas menengah yang
meledak-ledak, tapi tetap menjunjung kaidah serta rambu kejurnalistikan.
Sebagai kulminasinya, Persma juga berperan menjadi elemen yang turut andil
menggulingkan rezim korup Soeharto di tahun ’98.
Sejalan dengan tumbangnya rezim
otoriter Orba, keran demokrasi termasuk kebebasan berpendapat juga mulai
terbuka lebar. Termasuk dalam hal memberitakan. Tak ada lagi sensor-sensor dan
ancaman pembreidelan dari dinas-dinas pemerintahan atas karya jurnalistik dan
media terbitan Persma. Bersama dengan itu, aliran informasi mengalir deras
tanpa hambatan. Indudtri pers pun tumbuh pesat bak jamur di musim hujan. Hal
ini juga yang justru membuat Persma yang pada masa Orba sebagai media
alternatif, malah menemukan kegelisahan.
Lalu, apa yang tersisa buat
Persma kemudian? Bagaimana Persma kemudian menunaikan kewajiban moralnya
sebagai wadah sekaligus gerakan mahasiswa yang berbasis narasi jurnalistik?
Akhirnya posisi dan orientasi
Persma sebagai media alternative perlu dievaluasi. Di masa lalu Persma
dikatakan alternatif karena mereka dinilai vokal dalam mengangkat isu serta
pemberitaan sensitif yang tak berani diangkat pers umum. Jangankan melakukan
kritik pada penguasa atau mau membuat pemberitaan yang bergenre investigatif,
menjaga kontinuitas terbitan lembaganya sendiri saja Persma masih kelimpungan.
Bahkan Persma terjebak mengabarkan yang bersifat informatif belaka dengan
minusnya nilai berita.
Sebenarnya sangat disayangkan,
karya-karya Persma yang dulu menjadi bahan bakar untuk memicu gerakan-gerakan
mahasiswa, kini cenderung berisi tulisan tanpa nilai berita yang informatif.
Alih-alih menancapkan eksistensi, isi berita yang diangkat Persma justru
menunjukkan antiklimaks. Terbitan Persma cenderung menjauh dari upaya
peningkatan intelektualitas dan idealisme mahasiswa.
Bila di masa rezim otoriter
Soeharto, jelas Persma bergerak lebih kearah mengkritisi kebijakan-kebijakan
lewat media-media terbitannya. Lalu, kini harusnya perlu ditekankan kembali
bahwa Persma menerbitkan media bukan karena tuntutan deadline. Namun betapa kerennya Persma di era silam, menyuplai isu
serta gagasan dalam pergerakan mahasiswa dalam baying-bayang rezim Soeharto.
Sudah saatnya Persma kembali
pada realitas. Kalaulah Persma suka ngopi-ngopi, ngobrol filsafat sampai
isu-isu hangat yang sedang berkembang di lingkungannya, menjadi penjaga kampus,
berwacana tentang kaum-kaum yang dirampas haknya dan termarjinalkan, bikin
media yang isinya tulisan, foto, maupun keduanya, itulah Persma. Dengan tidak
meninggalkan ciri khasnya yang selalu berdiri menjadi pemantau. Serta tak takut
untuk menjadi oposan pihak penguasa, baik kampus maupun pemerintahan luar
kampus.
Tapi ingat, Persma tetap memilih
‘jalannya’ sendiri. Bergerak melalui wacana, menggalakkan kajian-kajian
keilmuan untuk mendukung pergerakan menuju perbaikan bangsa dan bersuara lewat
goresan pena. Sekali lagi, itulah Persma! ‘Dia’ adalah apa yang dilakukannya
secara penuh kesadaran dengan atau tanpa dukungan pihak-pihak yang se-ide.[]
*) Tulisan ini
pertama kali dimuat di Buletin Merah Putih Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia
(PPMI) Kota Jember Edisi #1 bulan Juni 2015.
0 komentar:
Posting Komentar