Rabu, 04 Januari 2017

Bagian Pertama

Teruntuk Engkau, Manisku.

Yang hanya mampu aku pekikkan keras-keras di dalam sanubari,

Adakah engkau untuk sekelebat memikirkanku? Pada waktu-waktu yang rumpang untuk dikisahkan. Sekedar mengingat aku - laki yang dibalut sepi dan sering tertikam bayang masa silam.

Manisku,

yang hanya mampu kusebut dengan bibir bergetar dalam sela-sela doa.

Ketahuilah manisku, kuingin sesekali berdua di atas tanah lapang yang entah. Untuk kemudian bersama-sama menatap langit sembari memandangi senja. Menunggu surya yang perlahan-lahan tenggelam. Menikmati jingganya yang lamat-lamat memburam menuju temaram. Hanya berdua saja. Tidak sesuatupun akan kuijinkan untuk mengganggu, bahkan detak waktu harus rela mengalah. Mengalah sejenak hanya untuk engkau satu-satunya manisku..

..dan tentunya juga aku.

...


Manisku, aku masih meyakini kecemburuan menjadi jawaban atas ketakutan sekaligus sebuah ke-takmampu-an. Itu juga yang agaknya kurasa sekaligus terpaksa kuamini belakangan. Aku takut. Aku sama seperti manusia-manusia kebanyakan yang begitu takut akan kehilangan. Begitu bergidik saat berpapasan dengan kesendirian.

Bergandengan mesra hampir seperempat abad dengan kesendirian membuat tubuh dan jiwaku makin rentan dan rapuh. Terlalu rapuh karena sering dimanjakan dengan harapan. Menjadi semakin rapuh karena seringkali penyakit datang memaksa tanpa bisa kutahan dengan sungguh. Mengelak-pun aku tak ada daya – sia-sia. Lalu, yang bisa kulakukan hanya diam.

Hal yang paling aku takutkan di sela takut-takut lain yang sering hinggap adalah air matamu. Aku, laki yang pernah memaksa air mata itu tertumpah. Maafkan aku manisku. Aku -  laki kurang ajar yang sering kali membuatmu khawatir, selalu takut jikalau air mata lain tertumpah. Menjadi semakin bertambah sedih saat itu terjadi di depan kedua mataku. Tapi ketahuilah, sekali lagi aku – laki kurang ajar ini begitu takut saat sedikit saja kau keluar dari orbital keseharian dan hidupnya.

Manisku – yang akan selalu menjadi manisku, maafkan aku yang terlampau banyak menjejalimu dengan ke-aku-an, keangkuhan dan membanjiri dengan umpatan. Untuk kesekian kali, itu hanya karena aku takut. Aku takut kau perlahan menebar jarak. Lalu, kemudian mengendap-endap pergi melenyap di sudut yang tak pernah ku kira-kira. Menghilang tanpa kutahu sebab dan gagal pula kuendus kemana angin menghempas sosokmu dan menyembunyikan wangimu. Aku takut jika setelah kepergianmu, lalu di suatu waktu yang entah kita berjumpa dan tak kukenali lagi dirimu. Ya, beginilah hidupku terlampau banyak berisi ketakutan, ketakutan dan banyak ketakutan.

Tak banyak manusia diluar diriku yang mampu merubahku dengan lembut sekaligus tiba-tiba. Engkau,  salah satu dari beberapa itu. Bahkan, seingatku jadi satu-satunya. Ketahuilah manisku, hubunganku dengan ingatan seringkali tak berjalan mulus dan terjalin mesra. Seringkali memori di kepala membiarkan beberapa isinya pergi melenyap dan menguap.

Jika kemudian di belakang hari ini ada perubahan pada sikapku, percayalah itu bukan sepenuhnya karena engkau, manisku. Tak perlu terlalu risau menyalahkan diri sendiri. Hanya saja, ini karena ada sesuatu yang berkelindan dan tiba-tiba saling - silang dan merangsek menyabotase sudut-sudut pikiranku. Apakah kau percaya karma? Kini aku sedang dipeluknya erat, manisku. Tuhan, semesta dan tatanannya serasa memberikan balasan padaku. Mereka seakan menagih bayaran atas apa yang kuperbuat di hari-hari yang lalu. Utamanya rasa bersalah atas kejadian satu dan lainnya. Hal yang selalu gagal ku-eja dan kupahami benar cara kerjanya. Menjijikkan bukan manisku?

...

Apa yang sedang kau perbuat manisku? Masih berkutat dengan teori, berjubel dengan tugas atau tenggelam diantara diktat kuliah yang tebal-tebal? Oh iya, aku hampir lupa. Minggu-minggu ini jadi salah satu minggu yang menjengkelkan dalam hidupku. Minggu tenang. Aku selalu saja gagal memahami bagaimana konsepsi mereka (birokrat kampus dan antek-antek dosennya) terkait minggu tenang. Mungkin, mereka mengagendakan minggu tenang untuk benar-benar menenangkan mahasiswa dalam menghadapi ujian. Tapi, mungkin kau juga mengetahuinya manisku, selalu saja dosen-dosen – yang mayoritas kolot itu – selalu memberikan tugas yang seabreg menjelang minggu tenang begini. Belakangan kau juga merasakannya juga  kan manisku? Lalu, apanya yang te-nang? 
                                                                                                                                
...

0 komentar:

Posting Komentar