Teruntuk
Engkau, Manisku.
Yang
hanya mampu aku pekikkan keras-keras di dalam sanubari,
Adakah engkau untuk sekelebat
memikirkanku? Pada waktu-waktu yang rumpang untuk dikisahkan. Sekedar mengingat
aku - laki yang dibalut sepi dan sering tertikam bayang masa silam.
Manisku,
yang hanya mampu kusebut dengan bibir
bergetar dalam sela-sela doa.
Ketahuilah manisku, kuingin sesekali
berdua di atas tanah lapang yang entah. Untuk kemudian bersama-sama menatap
langit sembari memandangi senja. Menunggu surya yang perlahan-lahan tenggelam.
Menikmati jingganya yang lamat-lamat memburam menuju temaram. Hanya berdua saja.
Tidak sesuatupun akan kuijinkan untuk mengganggu, bahkan detak waktu harus rela
mengalah. Mengalah sejenak hanya untuk engkau satu-satunya manisku..
..dan tentunya juga aku.
...
Manisku, aku masih meyakini
kecemburuan menjadi jawaban atas ketakutan sekaligus sebuah ke-takmampu-an. Itu
juga yang agaknya kurasa sekaligus terpaksa kuamini belakangan. Aku takut. Aku
sama seperti manusia-manusia kebanyakan yang begitu takut akan kehilangan.
Begitu bergidik saat berpapasan dengan kesendirian.
Bergandengan mesra hampir seperempat
abad dengan kesendirian membuat tubuh dan jiwaku makin rentan dan rapuh. Terlalu
rapuh karena sering dimanjakan dengan harapan. Menjadi semakin rapuh karena seringkali
penyakit datang memaksa tanpa bisa kutahan dengan sungguh. Mengelak-pun aku tak
ada daya – sia-sia. Lalu, yang bisa kulakukan hanya diam.
Hal yang paling aku takutkan di sela
takut-takut lain yang sering hinggap adalah air matamu. Aku, laki yang pernah memaksa
air mata itu tertumpah. Maafkan aku manisku. Aku - laki kurang ajar yang sering kali membuatmu
khawatir, selalu takut jikalau air mata lain tertumpah. Menjadi semakin bertambah
sedih saat itu terjadi di depan kedua mataku. Tapi ketahuilah, sekali lagi aku
– laki kurang ajar ini begitu takut saat sedikit saja kau keluar dari orbital
keseharian dan hidupnya.
Manisku – yang akan selalu menjadi
manisku, maafkan aku yang terlampau banyak menjejalimu dengan ke-aku-an,
keangkuhan dan membanjiri dengan umpatan. Untuk kesekian kali, itu hanya karena
aku takut. Aku takut kau perlahan menebar jarak. Lalu, kemudian mengendap-endap
pergi melenyap di sudut yang tak pernah ku kira-kira. Menghilang tanpa kutahu
sebab dan gagal pula kuendus kemana angin menghempas sosokmu dan menyembunyikan
wangimu. Aku takut jika setelah kepergianmu, lalu di suatu waktu yang entah
kita berjumpa dan tak kukenali lagi dirimu. Ya, beginilah hidupku terlampau
banyak berisi ketakutan, ketakutan dan banyak ketakutan.
Tak banyak manusia diluar diriku yang
mampu merubahku dengan lembut sekaligus tiba-tiba. Engkau, salah satu dari beberapa itu. Bahkan,
seingatku jadi satu-satunya. Ketahuilah manisku, hubunganku dengan ingatan
seringkali tak berjalan mulus dan terjalin mesra. Seringkali memori di kepala
membiarkan beberapa isinya pergi melenyap dan menguap.
Jika kemudian di belakang hari ini ada
perubahan pada sikapku, percayalah itu bukan sepenuhnya karena engkau, manisku.
Tak perlu terlalu risau menyalahkan diri sendiri. Hanya saja, ini karena ada
sesuatu yang berkelindan dan tiba-tiba saling - silang dan merangsek menyabotase
sudut-sudut pikiranku. Apakah kau percaya karma? Kini aku sedang dipeluknya
erat, manisku. Tuhan, semesta dan tatanannya serasa memberikan balasan padaku.
Mereka seakan menagih bayaran atas apa yang kuperbuat di hari-hari yang lalu. Utamanya
rasa bersalah atas kejadian satu dan lainnya. Hal yang selalu gagal ku-eja dan kupahami
benar cara kerjanya. Menjijikkan bukan manisku?
...
Apa yang sedang kau perbuat manisku? Masih
berkutat dengan teori, berjubel dengan tugas atau tenggelam diantara diktat
kuliah yang tebal-tebal? Oh iya, aku hampir lupa. Minggu-minggu ini jadi salah
satu minggu yang menjengkelkan dalam hidupku. Minggu tenang. Aku selalu saja
gagal memahami bagaimana konsepsi mereka (birokrat kampus dan antek-antek
dosennya) terkait minggu tenang. Mungkin, mereka mengagendakan minggu tenang
untuk benar-benar menenangkan mahasiswa dalam menghadapi ujian. Tapi, mungkin
kau juga mengetahuinya manisku, selalu saja dosen-dosen – yang mayoritas kolot
itu – selalu memberikan tugas yang seabreg menjelang minggu tenang begini.
Belakangan kau juga merasakannya juga
kan manisku? Lalu, apanya yang te-nang?
...
0 komentar:
Posting Komentar